Berita & Info

Ketahanan Keluarga: Paradoks Radikalisme dalam Keluarga Indonesia

Uncategorized @id

Ketahanan Keluarga: Paradoks Radikalisme dalam Keluarga Indonesia

Selasa, 27 November 2018, Aula lt. 3 Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI dan Wahid Foundation Gelar Bedah Buku Seputar Ekstrimisme dan Radikalisme dengan tajuk “Menghalau Ekstrimisme: Konsep dan Strategi Menangani Ekstrimisme kekerasan di Indonesia” dan “Ketahanan Keluarga: Paradoks Radikalisme dalam Keluarga Indonesia.” Acara bedah buku yang berlangsung dua sesi dan dibuka oleh Direktur SKSG UI, Dr. Muhammad Luthfi.

Pada sesi kedua ini, buku yang dibedah mengangkat tema Ketahanan Keluarga. Buku ini merupakan ringkasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh tim peneliti Pusat Kajian Stratejik dan Global Indonesia. Tema radikalisme dalam keluarga sengaja dipilih sebagai fokus utama penelitian karena selama ini sektor keluarga nyaris luput dari perhatian para akademisi, pemerintah, dan masyarakat secara umum. Menurut penulis, Muhamad Syauqillah, Ph.D., yang juga Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG, keluarga sebagai unit dasar yang menjadi fondasi berdirinya sebuah negara sangat rentan terpapar radikalisme. Bahkan, hampir semua orang yang terpapar radikalisme pasti diawali dengan masalah dalam keluarga “bisa karena ketiadaan perhatian dari orang tua terhadap anaknya, ketidakmampuan sebuah keluarga untuk menanamkan cara berpikir kritis, atau justru dipengaruhi oleh anggota keluarga lain seperti adik/ kakak, paman, dll.”

Syauqillah menambahkan, buku ini mencoba merunut akar dari radikalisme dalam keluarga agar semua stakeholder dapat mengetahui dasar permasalahannya sehingga mampu mencari alternatif solusi untuk mencegah dan menanggulangi radikalisme. Kelibatan keluarga dalam radikalisme sesungguhnya sudah terjadi sejak masa pemberontakan Darul Islam (DI) yang dipimpin oleh Kartosoewirjo. Para alumni Afghanistan juga mengikutsertakan istri dan anak mereka ketika melakukan pelatihan di Afghanistan, meskipun ini hanya terjadi di kalangan petinggi mereka. Sosok yang berperan dalam transmisi nilai-nilai radikalisme sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh seorang ayah, tetapi seluruh anggota keluarga dapat berperan dan saling mempengaruhi “makanya dalam buku ini kita menyertakan relasi antara ayah dengan anaknya, suami dengan istri, adik dengan kakak, hingga relasi dengan keluarga besar dan relasi peer group.” Imbuhnya.

Brigjen Pol. Ir. Hamli, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang hadir sebagai salah satu pembedah buku mengapresiasi penerbitan buku ini karena pentingnya isu yang diangkat, yakni keluarga. Harapannya, penemuan-penemuan dalam buku ini dapat terus disosialisasikan pada keluarga Indonesia dan menjadi acuan bagi instansi-instansi pemerintah serta masyarakat umum untuk melakukan pencegahan radikalisme dari lingkaran terdekat mereka. Terlebih pasca masyarakat Indonesia dikagetkan oleh bom bunuh diri di Surabaya pada Mei 2018 lalu yang dilakukan oleh Dita dengan menyertakan seluruh anggota keluarganya. Menurutnya, ada satu pertanyaan krusial yang harus kita ajukan dalam setiap kasus radikalisme dan terorisme yang terjadi “apa sebetulnya yang dikatakan oleh Dita kepada anak dan istrinya untuk mengajak mereka melakukan bom bunuh diri, sampai semuanya mau ikut terlibat?”. Ternyata, setelah ditelusuri, jawabanya sama yaitu diiming-imingi masuk surga, mendapatkan bidadari surga, menakut-nakuti musuh, dan jihad sebagai sesuatu yang fardhu ain “ini yang harus jadi perhatian, pelurusan-pelurusan ini sangat penting agar tidak terjadi lagi kasus terorisme yang melibatkan keluarga”.

Brigjen Pol. Hamli juga menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang mutlak harus dihilangkan dalam setiap upaya pencegahan terorisme yang dikenal dengan segitiga terorisme. Tiga faktor tersebut antara lain: ideologi, personal, dan environment  “kita tidak bisa hanya menghilangkan faktor ideologi saja, juga tidak bisa menghilangkan faktor ideologi dan personal, sementara lingkungannya masih bergaul dengan orang-orang radikal, ikut pengajian yang isinya mengkafir-kafirkan, harus ketiganya dihilangkan.” BNPT sendiri melakukan dua pendekatan utama dalam setiap aksinya yaitu hard approach dan soft approach plus kerjasama internasional. Pada prakteknya, soft approach lebih dikedepankan, terutama dalam upaya deradikalisasi (bagi yang sudah terpapar) dan kontra-radikalisasi (bagi yang belum terpapar). Ada juga pencegahan hulu-hilir dimana hilir-nya ditangani oleh Densus 88 sementara hulu-nya menjadi tanggung jawab BNPT.

Pembicara ketiga merupakan perwakilan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yaitu Margaret Aliyatul Maimunah yang saat ini menjabat sebagai anggota Komisioner KPAI periode 2017-2022. Menurut beliau, buku ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia di tengah gempuran radikalisme dan serangkaian aksi terorisme dalam beberapa tahun terakhir. Pada dasarnya memang peran perempuan dalam terorisme sudah ada sejak dulu, tetapi hanya sebagai supporting agent. Saat ini perempuan ditempatkan langsung di garda depan (sebagai pelaku pengeboman) sehingga perannya menjadi lebih aktif. Adapun pola-pola radikalisme dalam keluarga yang umumnya terjadi didominasi oleh indoktrinasi dari orang tua terhadap anaknya. Apapun konteksnya, anak tetaplah ditempatkan sebagai korban. Dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang baru, kejahatan terorisme yang melibatkan anak-anak sudah diatur dalam pasal 16A yang berbunyi “setiap orang yang melakukan Tindakan Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)”.  Meskipun demikian, di era revolusi digital, anak justru bisa menjadi aktor yang mampu menjadikan keluarganya berpemikiran radikal seperti contoh dalam buku Ketahanan Keluarga “sekarang ini, media sosial penting sekali untuk dikontrol karena anak-anak bisa komunikasi langsung dengan tokoh-tokoh teroris yang bergerak di internet atau melalui medsos”.

Bedah buku juga menghadirkan Echo Ibrahim (Baim) mantan narapidana kasus bom bunuh diri di areal masjid Polres Cirebon. Pada kesempatan ini, Baim menceritakan awal mula keterlibatannya dalam terorisme hingga akhirnya ikut berperan dalam pemboman Polres Cirebon. Menurutnya, keluarga menjadi faktor utama yang membuat ia berubah untuk tidak menjadi radikal “memang sulit, tapi harus konsisten, sekali hijrah ya harus total hijrah.” Ia meyakini bahwa dalam banyak kasus, keluarga dapat menjadi faktor pertimbangan utama yang membuat seseorang keluar dari pusaran radikalisme dan terorisme “saya mulai mikir bahwa ketika saya ngebom hingga dipenjara, ada hak-hak keluarga seperti ibu saya, anak saya, istri saya yang saya dzalimi. Keluarga saya, terutama anak mendapat perlakuan yang tidak meng-enakkan dari tetangga sekitar seperti dicap anak teroris, makanya keluargalah yang menjadi titik balik saya buat berubah.”

Narasumber terakhir yang dihadarikan dalam bedah buku ini adalah Ali Imron, narapidana kasus bom Bali I (2002). Ali Imron mengakui bahwa ia sangat terpengaruh oleh figur kakak yang menjadi idolanya, Ali Ghufron alias Mukhlas. Muhklas-lah yang menanamkan pemikiran-pemikiran radikal sejak Ali masih kecil sehingga ia membenci NKRI dan aparatur negara seperti polisi atau tentara. Kakaknya juga yang menginspirasi Ali untuk berangkat ke Afghanistan dan mengikuti akademi militer di sana. Pada kesempatan yang sama Ali menceritakan kronologis peristiwa bom Bali, bom Ambon, Poso, Kedubes Filipina, dan bom natal “semuanya berhasil, kita semua berhasil meledakkan itu, cuma pas bom Bali saja yang ketangkep.” Meskipun pada awalnya Ali Imron tidak setuju untuk meledakkan bom di Bali (karena tidak relevan dengan tujuan untuk melawan Amerika Serikat), akhirnya ia menjadi aktor yang paling berperan banyak dalam peristiwa tersebut. Terkait dengan radikalisme dalam keluarga, Ali berpendapat bahwa peran keluarga sangat penting dalam membentuk karakter serta kepribadian seorang anak. Pengetahuan orang tua dalam hal agama juga sangat diperlukan karena jika orang tua memahami persoalan agama, mereka bisa ikut berperan mengayomi anak-anak untuk mempertahankan nilai-nilai toleransi dan tenggang rasa yang menjadi nilai-nilai pemersatu masyarakat Indonesia yang sangat heterogen. Ia juga menyatakan harus ada formula khusus untuk memantau kepribadian anak agar tidak mudah terjerumus dalam ideologi ekstrimisme dan radikalisme di era modern sekarang ini “radikalisme ini bukan seperti persoalan narkoba karena ini bersangkutan dengan kepribadian seseorang dan berbicaranya sudah sampai pada persoalan akhirat”. Menanggapi aksi teror di Surabaya beberapa bulan lalu, Ali menyatakan bahwa tidak ada dalil apapun yang mengesahkan pelibatan anak dan istri dalam pertempuran “mau mati syahid kok ajak anak istri. dulu saja kita merahasiakan supaya istri tidak sampai tahu kalau kita tidak sedang berjihad”. “Itu hawa nafsu saja, tidak bisa dibenarkan. Kalau mau jadi teroris di Filipina saja karena Indonesia ini negara damai,” lanjutnya.

Di akhir diskusi, Ali Imron juga berpesan bahwa untuk membendung penyebaran radikalisme di Indonesia, para orang tua harus lebih selektif dalam mencari sekolah yang terbaik bagi anak-anaknya. Jangan sampai anak-anak yang masih belum paham apa-apa dimasukkan ke sekolah yang mengajarkan paham radikal atau yang guru-gurunya menganut paham radikal.

(Imam)