Berita & Info

UI dan MUI Adakan Diskusi dengan Kearifan Lokal untuk Tangkal Radikalisme

BeritaSeminar

UI dan MUI Adakan Diskusi dengan Kearifan Lokal untuk Tangkal Radikalisme

“Indonesia memiliki kearifan lokal yang dapat menangkal radikalisme dan terorisme. Ini bukan berarti kearifan lokal menjadi solusi radikalisme dan terorisme, melainkan apakah masyarakat Indonesia mampu memanfaatkannya untuk itu. Kearifan lokal itu ibarat emas dan berlian yang perlu diolah. Ia bukan sekadar pengetahuan, melainkan ilmu yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.,” kata Dr. Ngatawi Al-Zastrow selaku Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI).

Zastrow menambahkan, kearifan lokal yang termasuk dalam kebudayaan ini harus menjadi ilmu laku. Kebudayaan harus built-in dalam diri, terekspresi dalam laku, dan terwujud dalam kerangka pikir. Pernyataan Zastrow tersebut disampaikan dalam diskusi “Membingkai Budaya Keberagaman, Meneguhkan NKRI, Menolak NII”, pada Jumat (22/04) lalu. Acara yang diadakan MAC UI berkolaborasi dengan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI dan Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme, Majelis Ulama Indonesia (BPET-MUI) ini disiarkan langsung melalui kanal Youtube.

Diskusi yang dihadiri Wakil Ketua BPET-MUI, Dr. K.H. Muslih Nasuha; Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI, M. Syauqillah, Ph.D.; dan Lead Researcher of Terrorism and Political Violence Galatea Thinktank, Ulta Levenia, tersebut membahas upaya membendung munculnya paham radikalisme. Menurut Syauqillah, semua organisasi teror di Indonesia memiliki akar yang sama meski diekspresikan dengan cara berbeda. Berbagai organisasi sebetulnya memiliki ideologi yang sama, yaitu membentuk pemerintahan khilafah atau daulah. Kesamaan tujuan ini membuat anggota organisasi tertentu mudah berpindah ke antar-organisasi serupa.

Tumbuhnya organisasi radikal di Indonesia disebabkan adanya pemahaman yang keliru atas ajaran agama. Dalam Islam, misalnya, dasar-dasarnya jelas merujuk ke Al-Quran dan Hadits. Namun, ketika penyampaiannya salah, pemahaman aturannya pun bisa keliru. Proses penyampaian ajaran agama membutuhkan budaya agar mudah dimengerti masyarakat. Kepiawaian ustadz, kiai, dan ulama juga ditantang agar pesan yang disampaikan dipahami dengan tepat.

Dr. Muslih bercerita pengalamannya menggagalkan keberangkatan sekelompok orang yang ingin pergi ke Syria dan Iraq. “Mereka memahami jihad itu perang sehingga datang ke tempat peperangan. Padahal, ada ayat Al-Quran yang memberikan penjelasan bahwa jihad bukan hanya perang. Pemahaman agama yang kurang ini dimanfaatkan kelompok teroris dan radikal untuk menanamkan ideologinya. Orang yang galau dan tidak memahami agama akhirnya terkena doktrinnya,” kata Muslih saat ditanya pandangannya terhadap kelompok teroris dan radikal.

Pendekatan ideologis yang masif dilakukan hampir seluruh kelompok teror. Mereka berusaha menjadi kanal imajinasi bagi pihak yang merindukan hidup di masa tertentu, misalnya masa kehidupan nabi. Hal ini berhubungan dengan psikologis masyarakat di Indonesia dan Malaysia yang mengagungkan dan menjadikannya masyarakat Timur Tengah sebagai inspirasi.

Berdasarkan pengalamannya meneliti organisasi teror di Afganistan, Ulta menemukan adanya narasi yang kuat dan berkembang di antara anggota organisasi ini. Narasi-narasi ini awalnya diperkenalkan oleh tokoh karismatik dan ditanamkan ke anggotanya. Namun, ketika tokoh ini atau tokoh karismatik lainnya berbicara narasi yang bertentangan, anggota tidak percaya dan menganggap hanya kebohongan. Hal ini mengisyaratkan bahwa ada narasi yang sangat kuat dan tertanam dalam benak anggotanya. “It’s strong enough to become the truth,” kata Ulta di akhir sesi.

Sources : https://www.ui.ac.id/ui-dan-mui-adakan-diskusi-dengan-kearifan-lokal-untuk-tangkal-radikalisme/