Universitas Indonesia Undang Akademisi Ungkap Perbudakan di Sumba Timur: Kekerasan Berlapis pada Perempuan dan Anak
December 3, 2024 2024-12-20 10:40Universitas Indonesia Undang Akademisi Ungkap Perbudakan di Sumba Timur: Kekerasan Berlapis pada Perempuan dan Anak
Universitas Indonesia Undang Akademisi Ungkap Perbudakan di Sumba Timur: Kekerasan Berlapis pada Perempuan dan Anak
Jakarta, 30 November 2024 – Universitas Indonesia, khususnya Program Studi Kajian Gender bekerja sama dengan Komnas Perempuan, KPAI, dan Peruati Sumba dalam melakukan diskusi publik mengenai praktik perbudakan yang dilegitimasi oleh tradisi dan budaya di Sumba Timur. Meski Indonesia telah merdeka selama 79 tahun, fenomena ini menunjukkan sisi gelap dari ketimpangan sosial yang masih mengakar di beberapa wilayah, dan ini adalah hal yang perlu diperhatikan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pdt. Herlina Ratu Kenya, sebagai Ketua Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi Indonesia (PERUATI) Sumba, mengemukakan dalam diskusi publik ini bahwa masyarakat Sumba Timur secara tradisional terklasifikasi dalam tiga kelompok sosial: Maramba (bangsawan), Kabihu (kelompok merdeka), dan Ata (budak). Status sosial ini diwariskan secara turun-temurun dan mengikat para Ata dalam suatu sistem yang mengatur setiap aspek kehidupan mereka, termasuk tubuh, kebebasan, dan bahkan keturunan. “Para budak tidak memiliki hak atas diri mereka sendiri, apalagi memperoleh kesempatan untuk mengubah nasib mereka” Ujar Pdt. Herlina Ratu Kenya, MAPT dalam pemaparannya. Menurut Pdt. Herlina, sistem ini adalah warisan sejarah peperangan antar kampung yang menyebabkan pihak kalah menjadi budak. Namun, hingga kini, budaya ini tetap hidup melalui legitimasi tradisi yang melanggengkan ketidakadilan sebab menciptakan relasi kuasa antara bangsawan dan budak.
Rainy Maryke Hutabarat, seorang Komisioner Komnas Perempuan, menekankan bahwa perempuan Ata menjadi kelompok paling rentan dalam situasi ini, sebab mereka menghadapi kekerasan berlapis; mulai dari kekerasan seksual hingga eksploitasi reproduksi. Banyak perempuan Ata dipaksa untuk melahirkan anak yang secara otomatis mewarisi status budak. Tubuh mereka dipandang sebagai alat produksi manusia yang mendukung kelangsungan sistem perbudakan. “Ada Perempuan Ata di Sumba Timur, meminum ramuan tradisional untuk mengeringkan rahimnya. Tak lain, hal ini bertujuan agar ia tidak lagi melahirkan generasi penerus budak, ini adalah salah satu bentuk perlawanan perempuan” Ujar Pdt. Herlina menyoroti kekerasan berlapis pada perempuan Ata.
“Kekerasan yang dialami oleh perempuan ini mengindikasikan bahwa sistem ini tidak hanya menindas secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan sosial,” ungkap Rainy. Meskipun perempuan tersebut berhasil melarikan diri, ia tetap dihantui oleh ancaman dari tuannya yang ingin mempertahankan status quo. Situasi ini menciptakan siklus kekerasan yang sulit diputus karena korban tidak memiliki mekanisme untuk melindungi diri.
Eksploitasi terhadap anak dan perempuan dalam sistem ini semakin memperburuk dampaknya. Ai Maryati Solihah, M.Si., selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menjelaskan bahwa anak-anak Ata tidak memiliki akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, atau perlindungan hukum. Banyak anak Ata yang bahkan tidak memiliki akta kelahiran, sehingga secara hukum mereka tidak dikenali sebagai individu yang memiliki hak. “Dalam beberapa kasus, anak-anak ini diperdagangkan di antara kalangan bangsawan, mencerminkan bentuk perdagangan manusia yang belum diidentifikasi dengan jelas oleh pemerintah, ini yang menjadi tantangan kita bersama” Ujar Ai Maryati Solihah dalam kesempatannya.
Minimnya data dan dokumentasi mengenai jumlah korban menjadi tantangan besar dalam menangani fenomena ini. Mia Siscawati, Ph.D., sebagai Ketua Prodi Kajian Gender SKSG UI, menegaskan kontribusi penelitian untuk mengungkap fenomena gunung es ini. “Penelitian kualitatif dapat berkontribusi dalam menggali narasi serta pengalaman para korban, sementara penelitian kuantitatif diperlukan untuk memberikan data konkret gambaran jumlah korban yang sebenarnya,” ujar Mia. Namun, ia juga menekankan bahwa penelitian kuantitatif bukanlah hal yang mudah dilakukan, karena berbasis angka korban yang melapor, sementara banyak korban takut mengungkapkan situasi mereka akibat ancaman dari tuannya atau tekanan sosial. Tantangan ini membutuhkan pendekatan sensitif dan partisipatif untuk memastikan keamanan dan kenyamanan korban.
Salah satu contoh yang menginspirasi dari kontribusi penelitian adalah tesis yang dilakukan oleh Pendeta Princess, Bendahara PERUATI Sumba, yang menyelami harapan para hamba melalui pembacaan Alkitab. Penelitian ini tidak hanya mendokumentasikan kekerasan yang terjadi, tetapi juga memberikan ruang bagi para korban untuk menyampaikan pengalaman mereka. “Penelitian ini menunjukkan bahwa narasi korban dapat menjadi instrumen yang sangat penting untuk mendorong perubahan sosial,” ujar Pdt. Herlina dalam menceritakan hal tersebut. Selain itu, Mia Siscawati, Ph.D., juga turut mengemukakan bahwa pendekatan yang berbasis interseksionalitas dianggap krusial untuk memahami dimensi kompleks dari masalah ini. “Antropologi feminis dan feminisme poskolonial adalah dua pendekatan yang relevan untuk mengangkat suara perempuan dan anak-anak yang terperangkap dalam sistem tersebut, “ Ujar Mia. Kedua pendekatan tersebut juga berkontribusi dalam mengkritisi tradisi yang selama ini dianggap sah oleh masyarakat.
Diskusi ini menekankan pentingnya kolaborasi antar sektor untuk memutus siklus perbudakan. Pemerintah, lembaga keagamaan, komunitas lokal, dan akademisi perlu bersinergi untuk menemukan solusi yang berkelanjutan. “Intervensi budaya dan hukum harus dilakukan secara simultan karena tradisi ini telah melembagakan ketidakadilan,” ujar Rainy. Salah satu langkah yang direkomendasikan adalah pengembangan program edukasi yang berbasis pada nilai-nilai kesetaraan dan hak asasi manusia. PERUATI Sumba telah memulai program yang memanfaatkan teks-teks kitab suci untuk meningkatkan kesadaran dalam masyarakat. “Kami ingin menunjukkan bahwa nilai-nilai agama dapat menjadi alat pembebasan, bukan penindasan,” jelas Pdt. Herlina.
Meskipun menghadapi tantangan besar dalam memutus rantai perbudakan ini, diskusi ini menunjukkan adanya sinar harapan. Perubahan kecil, seperti upaya perempuan untuk melawan sistem melalui tulisan atau tindakan personal, telah membuka peluang untuk dialog yang lebih luas. Pendekatan berbasis komunitas dan kolaborasi lintas sektor dianggap sebagai kunci untuk menciptakan perubahan yang berarti. Mia Siscawati, Ph.D., mengatakan bahwa Akademisi memiliki peran penting dalam membuka tabir ketidakadilan ini.
Dengan dukungan dari pemerintah, akademisi, dan masyarakat, diharapkan belenggu perbudakan di Sumba Timur dapat diputus. Oleh karena itu, “SKSG memberikan dukungan terhadap upaya ini melalui keterlibatan mahasiswa dan akademisi, baik dalam bentuk penelitian, kajian, maupun aktivitas lainnya. Diharapkan kontribusi dalam lingkup akademik ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung” Ujar Athor Subroto, Ph.D selaku direktur SKSG UI.
Red: Febi Komala Dewi