Jakarta Tak Cukup Hanya Kota Global, Tapi Juga Resilien
April 18, 2025 2025-04-18 4:50Jakarta Tak Cukup Hanya Kota Global, Tapi Juga Resilien
Jakarta, Universitas Indonesia- Jakarta perlu lebih serius mengupayakan berbagai strategi dan inisiatif untuk mewujudkan kota global yang tak hanya jadi pusat bisnis dan ekonomi, tapi juga tangguh menghadapi berbagai risiko bencana (resiliensi). Seluruh perencanaan dan pembangunan kota harus mulai disiapkan untuk bisa mewujudkan resilience city. “Budaya preparedness-nya harus diperkuat,” ujar Raditya Jati, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB saat menjadi pembicara bertajuk “Membangun Kota Global Tangguh Bencana” di Gedung IASTH, Universitas Indonesia, Salemba, Kamis (17/04).
Untuk itu, Jakarta perlu membuat rencana detail tentang berbagai kemungkinan bencana yang akan dihadapinya, termasuk apa yang harus dilakukan sebelum, selama, dan setelah bencana terjadi. “Beri penyadaran bahwa persoalan resiliensi itu urusan semua pihak, lintas departemen, lintas lembaga, lintas pemangku kepentingan,” ujar Raditya.

Menurut Raditya kesadaran bersama soal perlunya menggagas sebuah kota yang resilien sebenarnya telah muncul setelah peristiwa dahsyat gempa bumi disertai tsunami yang menghantam Aceh dan daerah lain di Asia Tenggara. “Ingat, perlu uang hingga Rp 113 triliun dan 4 tahun hanya untuk rekonstruksi setelah bencana,” ujar Raditya. Terlebih Jakarta dan banyak kota di Indonesia lainnya memiliki wilayah pesisir.
Dr Chotib, Kaprodi Kajian Pengembangan Perkotaan SKSG Universitas Indonesia saat membuka diskusi menyatakan meski Jakarta sudah mencanangkan sebagai kota global, tidak serta merta langsung setara dengan kota global lain di dunia. Masih banyak yang harus dibenahi untuk bertransformasi sebagai kota global salah satunya adalah memunculkan ketahanan kota menghadapi kebencanaan (resiliensi). “Kita harus penuh doa tinggal di Indonesia,” ujar Dr Chotib.
Apalagi menurut perangkingan Indeks Kota Global berdasarkan Kearney, dari lima indikator, seperti aktivitas bisnis, sumber daya manusia, pertukaran informasi, pengalaman kebudayaan dan keterlibatan politik ternyata seluruhnya mengalami penurunan sejak 2015 hingga 2023. “Penurunan terbesar justru terjadi pada dimensi sumber daya manusia, yakni dari urutan ke-61 ke posisi 84,” ujar Chotib.
Sementara Basuki Rahmat, Ketua Sub Kelompok Pemberdayaan Masyarakat dan Lembaga Pemberdayaan BPBD Provinsi DKI Jakarta mengakui Jakarta memang swalayan bencana sejak dari sejarahnya. Banjir, kebakaran, gempa selalu menyertai sejarah pertumbuhan Jakarta. Sepanjang 2024, menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, terjadi 1.810 kejadian bencana yang didominasi kebakaran dan banjir. “Kita dikepung bencana dari pesisir hingga pegunungan,” ujar Basuki.
Lebih menyulitkan karena saat ini Jakarta masih mencari bentuk idealnya setelah perubahan status dan mencanangkan diri sebagai kota global. “Urbanisasi akan semakin tinggi,” ujar Basuki. Dengan lahan terbatas dan kepadatan yang tinggi, pada akhirnya bencana bukan lagi karena faktor alam tapi juga lebih banyak dipicu aktivitas manusia.
Misalnya warga yang tinggal di daerah rawan banjir tak mau pindah ke daerah lain karena merasa terlanjur nyaman dengan akses wilayahnya. “Lebih baik banjir setahun sekali dari pada macet setiap hari. Begitu kata warga yang saya pernah Tanya di lokasi banjir,” ujar Basuki.
Menurut Basuki banyak mitigasi bencana yang mendesak untuk dilakukan di Jakarta. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) misalnya pernah memperingatkan ancaman gempa besar Megathrust Selat Sunda yang mengancam Jakarta. “Belum sesar Cimandiri dan sesar Citarik yang tiba tiba aktif kembali,” ujar Basuki.
Sementara urbanis dari Universitas Indonesia Dr Husnul Fitri menyebut potensi bahaya dan bencana adalah sebuah keniscayaan akibat kota kota di dunia yang saling terhubung. Semakin global sebuah kota, semakin rentan pada berbagai bencana. Terlebih ketika paradigma pertumbuhan ekonomi dijadikan landasan bagi perkembangan kota global. “Kerentanan karena kita memang saling terhubung dalam banyak,” ujar Husnul.
Namun, belajar dari banyak penanganan bencana di sejumlah kota, selalu ada potensi untuk menghadirkan daya resiliensi kota. Jakarta lambat laun belajar untuk menyerap, beradaptasi, mengantisipasi bahkan memulihkan diri dari dampak dan guncangan bencana. “Kota ternyata punya kemampuan mitigasi bencana dengan baik,” ujar Husnul.
Menurut Husnul selanjutnya yang perlu diantisipasi adalah dampak bencana pada kelompok yang memiliki kerentanan untuk pulih lebih sulit, misalnya kaum disabilitas, perempuan dan lansia. “Bagi kelompok terpinggirkan menghadapi bencana selalu lebih berat dari orang kebanyakan,” ujar Husnul.
Penaggap lainnya, Dr Irene Sondang menyetujui adanya kerentanan yang sama pada semua kota global dalam hadapi bencana. Irene membandingkan bencana kebakaran yang dialami warga Los Angeles, Amerika Serikat sama merepotkan penanganannya misalnya dengan gempa di Myanmar. “Kota memang kompleks, masyarakatnya berlapis lapis berbeda dengan rural,” ujar Irene yang banyak meneliti manajemen bencana di sejumlah negara.
Menurut Irene di banyak negara, aksi kolektif, terorganisir dan sistematis memang cukup efektif saat menghadapi bencana. Namun, menumbuhkan kesadaran dan tindakan individu tak kalah pentingnya. Misalnya kesadaran warga untuk tak membuang sampah sembarangan atau tak mau gunakan lagi kemasan plastik bisa efektif untuk mengatasi banjir. “Jangan sepelekan aksi individu,” kata Irene. Kesadaran warga, ujar Irene, biasanya muncul setelah menyadari dan bisa menerima kenyataan kenyataan risiko bencana yang dihadapinya sebagai warga kota. Setelah bisa berdamai dengan bentang alam dan risiko bencana yang menyertainya, barulah muncul tindakan untuk menyatukan banyak pengetahuan untuk menghadapi bencana. “Harus ada penormalan risiko bencana,” pungkas Irene.(UI)
