Diskusi: Konflik Suriah dan Transmisi Ekstrimisme di Indonesia
November 15, 2018 2024-12-20 10:40Diskusi: Konflik Suriah dan Transmisi Ekstrimisme di Indonesia
Selasa, 13 November 2018, bertempat di lantai 4 Gedung SKSG Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) mengadakan diskusi bersama Ahsin Mahrus, Lc., MA selaku Dewan Konsulat Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Suriah. Beliau merupakan WNI yang telah tinggal di Suriah sejak 2003 dan memiliki banyak pengalaman di Suriah. Acara dihadiri oleh Dosen, Mahasiswa dari SKSG UI dan beberapa universitas lain.
Acara diskusi yang berlangsung selama hampir tiga jam diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, disambung dengan sambutan dari Muhamad Syauqillah P.hD, selaku Ketua Program Studi Kajian Terorisme UI. Pada sambutannya, Syauqillah menyatakan bahwa Timur Tengah memang menjadi penting bagi Indonesia, apapun yang terjadi di Timur Tengah pasti menjadi perhatian publik Indonesia. Mengapa demikian, lanjut Syauqillah, Indonesia yang secara mayoritas beragama Islam memiliki relasi historis cukup panjang, terutama soal transmisi keilmuan. Namun sayangnya, transmisi keilmuan yang telah berjalan berabad lamanya memunculkan sebuah anomaly, yakni ekstrimisme.
Pak Ahsin membuka diskusi dengan menampilkan fakta geopolitik Suriah yang dicap tidak seberuntung negara lain. Suriah berbatasan dengan Israel (hingga hari ini masih dalam status berperang), selain itu Suriah juga berbatasan dengan Lebanon yang menjadi tempat perseteruan antar Iran dan Arab Saudi. Arab Saudi dan Iran memiliki agenda untuk menjadi pemimpin Kawasan. Arab Saudi membangun Gulf Cooperation Council (GCC) setelah tidak berdaya di Liga Arab. Iran juga membangun aliansi dengan faksi Syiah di beberapa negara.
Dalam pembahasannya, pak Ahsin menekankan untuk membaca konflik di Suriah, dan umumnya Timur Tengah adalah konflik “kepentingan”, bukan agama. Pak Ahsin memeberikan contoh awal bagaimana Mesir dan Suriah yang sama-sama mengusung ide nasionalisme Arab, mulai berseteru akibat kebijakan Suriah terkait pipa minyak dari Iran menuju Eropa. Fakta lain yang dipaparkan adalah terkait geografi wilayah yang dikuasai beberapa faksi. Saat pecah Arab Spring dan deklarasi ISIS, pemerintah Asad hanya menguasai 20 persen wilayah Suriah. Konflik kepentingan jelas terasa di Suriah, dicontohkan terkait jual beli senjata yang massif di wilayaj perbatasan, perpindahan milisi atau foreign terrorist fighter (FTF) yang berasal dari negara teluk. Pak Ahsin menjelaskan kasus Ghouta saat dibebaskan oleh tentara Suriah, mayoritas milisi justru bukan orang Suriah, melainkan FTF dari Eropa dan negara teluk.
Dengan dinamika konflik yang berkepanjangan, konflik Suriah dapat dilihat sejak pemberontakan kelompok Ikhwanul Muslim di Hamma pada 1983. Masalah lain adalah suku Kurdi di Utara Suriah. Sehingga, saat pemberontakan FSA, simpatisan IM banyak ikut serta untuk membalas kejadian 1983. Konflik ini makin pelik saat ISIS mulai menyerang dari Irak, Raqqah menjadi basis ISIS. Konflik kepentingan ini makin menjadi saat agama menjadi bumbu. Konflik, ini justru dibumbui dengan konflik Sunni-Syiah, padahal ulama besar Suriah, menegaskan ini bukan konlik sekretarian. Raqqah menjadi basis ISIS, Aleppo menjadi basis FSA, Damaskus basis pemerintahan, Kobane menjadi basis Kurdi. Hal ini makin pelik karena banyak negara yang menjadikan Suriah sebagai lading Proxy War, antara Amerika dan Rusia, Iran dan Arab Saudi. Kurang lebih, terdapat 100 faksi yang bertikai di Suriah yang memiliki agenda masing-masing sesuai kepentingan donator.
Diskusi ini sendiri dilaksanakan untuk penjelasan lebih detil mengenai transmisi ekstrimisme dari Suriah ke Indonesia. Pak Ahsin menjelaskan bahwa banyak WNI yang terjebak doktrin kelompok radikal sehingga banyak yang bertempur di Suriah. Bagi Pak Ahsin menjadi masalah adalah saat para milisi asal Indonesia ini dikembalikan ke Indonesia, karena tentu akan mentransfer pengetahuan terkait aksi radikal mereka di Suriah. Hal lain yang dijabarkan terkait kesholehan kelompok radikalis, mereka mengaku paling sholeh. Nyatanya, banyak aturan agama yang dilanggar habis, seperti Jihad Nikah (perempuan dinikahkan dengan beberapa lelaki dalam satu malam).
Diskusi yang berlangsung disertai dengan tanya jawab dari peserta, mulai dari peran ulama di Suriah, kebijakan KBRI terhadap WNI, serta aliran dana bantuan untuk pengungsi berakhir kepada siapa? Setelah tanya jawab selesai, acara ditutup dengan sesi foto bersama beserta seluruh peserta diskusi.
(Imam Khomaeni Hayatullah)