Diskusi Publik “Air Bersih Untuk Semua: Masa Depan Jakarta Tanpa Privatisasi Air”
March 3, 2019 2024-12-20 10:40Diskusi Publik “Air Bersih Untuk Semua: Masa Depan Jakarta Tanpa Privatisasi Air”
Diskusi Publik “Air Bersih Untuk Semua: Masa Depan Jakarta Tanpa Privatisasi Air”
Jakarta, Rujak Center for Urban Studies bekerja sama dengan Sekolah Kajian Strategik & Global Universitas Indonesia (SKSG UI) mengadakan Diskusi Publik yang bertajuk “Air Bersih untuk Semua – Masa Depan Jakarta tanpa Privatisasi Air” (1 Maret 2019).
Diskusi publik ini menurut Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center, diselenggarakan untuk merespon rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan swastanisasi air di Jakarta dengan mengambil alih kepemilikan dan pengelolaan air secara penuh dari swasta yang diumumkan oleh Gubernur DKI, Anies Baswedan pada 11 Februari 2019 di Balai Kota.
Dalam sambutannya, Elisa mengatakan bahwa sudah 22 tahun Jakarta dibelenggu oleh privatisasi air, sementara selama ini kinerja swasta tidak juga bisa memenuhi target kesepakatan. Disaat bersamaan ada banyak perjuangan masyarakat sipil untuk mengembalikan pengelolaan air bersih kepada publik. Kemudian Ia menyatakan buruknya kondisinya pelayanan air di Jakarta memaksa warga miskin Jakarta untuk tetap miskin karena terpaksa mengeluarkan uang lebih demi memenuhi kebutuhan dasarnya itu. Dia juga mendorong agar Gubernur mengambil langkah berani dan progresif dalam upaya pengambilalihan kembali pelayanan air bersih.
Diskusi yang diselenggarakan di Aula Lt.3 Gd. IASTH, Kampus UI Salemba, Jakarta ini menghadirkan tiga narasumber yakni, Tita Salina (seorang penggiat seni), Nila Ardhanie (anggota Tim Tata Kelola Air DKI Jakarta), Haris Azhar (Advokat dari Kantor Hukum dan Ham Lokataru) dan di moderatori oleh Yuyun Harmono (Walhi Eknas).
Narasumber pertama, Tita Salina menceritakan kisah “Ziarah Utara” bersama tiga orang rekannya yang berasal dari Australia. Ziarah Utara mereka lakukan pada bulan Februari 2018, Tita bersama 3 rekannya melakukan aktifitas berjalan kaki selama 11 hari yang dimulai dari ujung barat Kampung Dadap ke ujung timur Marunda. Perjalanan yang menempuh jarak 42 km tersebut dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap ancaman tenggalamnya Jakarta akibat masifnya penyedotan air tanah oleh warga termasuk gedung-gedung perkantoran, perbelanjaan, hotel, dll yang menyebabkan penurunan permukaan tanah.
Kemudian, Nila Ardhanie selaku narasumber kedua menjelaskan penyebab penurunan permukaan tanah Jakarta salah satunya adalah kegagalan Jakarta memperluas cakupan layanan. Menurut swasta, cakupan layanan mereka adalah 62 %, ini berbeda dengan temuan Amertha Institute, yang menemukan bahwa cakupan layanan hanya 35 % dan dari angka tersebut hanya 8 % yang dialirkan kepada pelanggan berpenghasilan rendah. Kegagalan memperluas cakupan layanan ini menjadi salah satu faktor yang mendorong warga menyedot air tanah. Lebih lanjut Nila menjelaskan 3 opsi yang diberikan oleh tim kepada Gubernur. Pertama, terminasi (pemutusan) kontrak menggunakan dasar hukum pasal yang tersedia dalam perjanjian kerjasama, jika ini yang diputuskan akan ditempuh oleh Gubernur maka ada sejumlah dana kompensasi yang harus dibayarkan kepada pihak swasta. Kedua, pembelian saham, jika ini yang hendak ditempuh maka terlebih dahulu harus dilakukan Due Diligence (uji tuntas) untuk mengetahui nilai Palyja dan Aetra, dan ketiga adalah pengambilalihan sebagian pengelolaan air Jakarta hingga kontrak dengan swasta berakhir di tahun 2023. Nila juga menekankan pentingnya PDAM segera membuat rencana strategis untuk 20 tahun kedepan yang dapat menjamin cakupan wilayah yang terlayani hingga 100 %, airnya layak diminum, terjangkau oleh warga dan mengalir selama 24 jam setiap harinya.
Hariz Azhar sebagai narasumber ketiga mengatakan bahwa, kegagalan negara menyediakan air kepada warganya merupakan bentuk pelanggaran konstitusi. Dia juga menyayangkan hingga saat ini Indonesia tidak memiliki saluran Constitutional Complaint yang dapat digunakan warga untuk mengadukan pelanggaran konstitusi serta mendapatkan pemulihan. Haris juga mengingatkan landasan hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia yang dapat digunakan oleh Pemprov DKI penyelesaian permasalahan air di Jakarta.
Diskusi ini juga dihadiri oleh beberapa warga dari perkampungan di Jakarta yang selama ini dirugikan akibat tidak mendapatkan pelayanan air bersih. Mereka hadir tidak hanya sebagai peserta tapi juga ikut menyuarakan ketidakadilan yang terjadi kepada warga kampung yang ada di Jakarta.
(red:Deni Febrian; pict:PW)
[ngg src=”galleries” ids=”11″ display=”basic_thumbnail” override_thumbnail_settings=”1″ thumbnail_width=”160″ thumbnail_height=”120″ images_per_page=”16″ number_of_columns=”4″ show_slideshow_link=”0″]