Berita & Info

Ancaman Retaliasi Ekstremisme

Berita

Ancaman Retaliasi Ekstremisme

Awal 2023 dunia dikejutkan aksi ekstremisme yang dilakukan dua penganut varian ideologi yang berbeda. Pertama, ekstremisme berbasis agama di Pakistan menyasar polisi yang sedang beribadah di masjid di negeri itu. Kedua, aksi pembakaran kitab suci Al Quran di Swedia. Ketiga, ektremisme berbasis ideologi ekstrem, upaya penggulingan pemerintah di Jerman oleh kelompok Neo Nazi, dan keempat yang terbaru kasus penembakan polisi di Australia.

Mencermati laporan Global Terrorism Index 2022, terlihat aksi ekstremisme berbasis non agama meningkat di negara-negara kawasan Eropa dan Amerika. Salah satu penyebabnya adalah menguatnya kelompok atau organisasi yang menyerukan ideologi white supremacy, left wing atau right wing.

Merujuk kesejarahan ekstremisme yang terjadi di dunia, aksi ekstrem bukan hanya didominasi oleh pelaku bermotivasi agama, namun juga oleh berbagai motivasi ideologi lainnya. Kisah Zealot yang dikenal kemudian dengan Sicarii, kelompok Assasin di sekte Ismaili hingga Ku Klux Klan dan Proud Boys, adalah beberapa contoh manifestasi ekstremisme kelompok dengan basis ideologi kekerasan. (Chaliand, Blin, 2007).

Era klasik dan modern, memilah ekstremisme dengan berbagai macam latar belakang motivasi dengan terma ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Seringkali penamaan jenis ekstrimisme dirujuk kepada dasar motivasi agama dan ideologi kekerasan. Dalam perkembangannya ekstremisme juga dirujuk kepada organisasi pelaku yang makin spesifik, baik yang terkoneksi dengan jaringan maupun tidak terkoneksi.

Pandangan tentang pemilahan ekstremisme di dunia oleh Rapoport misalnya yang membagi menjadi lima gelombang besar. Sayangnya Rapoport tidak cukup tegas membatasi karakter perbedaan kelima gelombang tersebut dalam rentang waktu dari 1879 hingga saat ini. Namun saat menjelaskan gelombang kelima, Rapoport menyebutnya far right terror seperti juga diungkapkan ilmuan lain (Rapoport, 2022).

Pandangan tersebut cukup berbeda dengan Chaliand dan Blin yang tegas memisahkan empat gelombang periodesasi; pertama, gelombang anarki 1879-1920. Kedua, gelombang antikolonial 1919-1960. Ketiga, gelombang kiri baru 1960-1990. Keempat, gelombang agama 1990-2020.

Tentang gelombang kelima Rapoport mengulas secara khusus dalam bukunya Waves of Global Terrorism. Munculnya white supremacy sebagai salah satu bentuk ekstremisme yang berkembang di dunia saat ini diajukan Rapoport sebagai argumen di bagian akhir bukunya. Dalam catatannya dia mengatakan banyaknya negara barat yang melakukan pembatasan terhadap migran dan menyikapi isu-isu muslim sebagai pemicu gelombang kelima. Dinamika politik di dalam negeri memberikan warna tersendiri bagi berkembangnya white supremacy.

Pandangan Rapoport tentang lima gelombang terorisme, nampaknya berkorelasi dengan berbagai kejadian yang muncul di beberapa negara di Eropa, Amerika Serikat dan Australia saat ini. Perhatiannya terhadap basis keagamaan dalam aksi ekstrem tidak cukup tampil determinan. Padahal dalam kenyataan global, aksi ekstremisme keagamaan masih berada di angka yang cukup tinggi terjadi di kawasan Asia Selatan dan Afrika Utara.

Aksi ekstremisme dengan basis apapun yang terjadi di dunia saat ini secara nyata menyisahkan aksi berbalasan atau retaliasi. Uniknya retaliasi yang dilakukan baik oleh kelompok atau individu tidak hanya terjadi pada satu wilayah saja. Retailiasi mengalami ekspansi sehingga dapat terjadi di negara lain di luar wilayah asalnya.

Ancaman siklus retaliasi
Apabila merujuk pada bagaimana aksi kejahatan kekerasan terjadi di berbagai belahan dunia, ekstrimisme adalah salah satu kejahatan yang mampu membangkitkan retaliasi. Aksi ekstremisme di satu wilayah direspon dengan aksi yang hampir sama pada wilayah lainnya.

Aksi bom Bali I, dalam obrolan penulis dengan Umar Patek (mantan narapidana kasus terorisme yang baru saja menghirup udara bebas) misalnya, dikatakan bahwa aksi tersebut menurutnya merupakan bentuk pembalasan atas penindasan terhadap rakyat Palestina di Jenin, Tepi Barat. Bahkan sebelum bom Bali, kelompok Al Jamaah Al Islamiyah bahkan melakukan pengeboman rumah duta besar Filipina, sebagai respons yang dilakukan pemerintah Filipina terhadap kelompok militan muslim di sana.

Retaliasi juga terjadi dengan latar provokasi narasi penindasan Sunni oleh kelompok Syiah saat terjadi konflik di Suriah oleh pendukung Islamic State (IS) di Indonesia. Atas alasan ini IS di Indonesia mengampanyekan jihad agar warga negara Indonesia hijrah ke Suriah dan Irak. Hasilnya, lebih dari 1.000 WNI pergi ke Suriah dan hari ini lebih dari 500 WNI tertahan di Irak, Turki, dan Suriah.

Provokasi retaliasi lainya juga terjadi dalam kasus Uighur dan Rohingya. Provokasi bernada kekerasan terhadap Tiongkok pun muncul di media sosial dan begitu juga dalam kasus Rohingnya. Bahkan ada kasus percobaan terorisme di kedutaan besar Myanmar 2013. Nada yang sama juga digunakan dalam kasus pembakaran Al Quran oleh Paludan yang dibalas dengan rencana aksi teror terhadap umat Kristiani di Turki. Untungnya otoritas Turki berhasil menangkap sel IS tersebut di kawasan Istanbul.

Di Indonesia, kasus konflik Ambon dan Poso yang mana kelompok JI juga terlibat didalamnya, memperlihatkan adanya retaliasi dari masing-masing kubu yang bertikai, dan perlu waktu cukup lama untuk mendinginkan suasana. Bahkan residu konflik Poso dalam bentuk yang berbeda terus muncul dan setidaknya baru selesai saat kelompok Mujahidin Indonesia Timur berhasil dimusnahkan. Namun apakah benih ekstremisme selesai begitu saja, tentunya tidak.

Retaliasi adalah tindakan balasan, serangan balik yang dilakukan terhadap target sasaran yang memiliki relasi dengan tindakan kekerasan sebelumnya. Bahkan bisa menyasar target yang sama sekali tidak memiliki relasi namun memiliki kesamaan identitas seperti, agama dan ras. Retaliasi bisa dilakukan oleh negara, organisasi, kelompok, maupun individu.

Bagaimanapun retaliasi tidaklah berdiri sendiri. Dalam hemat saya retaliasi dapat menjadi faktor penarik dan pendorong terjadinya siklus aksi kekerasan. Selain memang harus diakui terdapat faktor ideologi kekerasan yang dianut. Doktrin pembalasan terhadap kekerasan yang diterima memang diikuti oleh kelompok-kelompok yang berkonflik dan mencari legitimasi atas kekerasan balasan.

Retaliasi sebagai respons tindak kekerasan di suatu negara, dengan jalan melakukan aksi kekerasan yang sama tidaklah dapat dibenarkan dengan argumen apapun. Kerangka rule of law adalah payung bahwa aksi kekerasan haruslah dibawa ke ranah hukum yang imparsial. Kerangka penyelesaian dengan aparat penegak hukum dihormati menjalankan mekanisme hukum yang berlaku.

(Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/568640/ancaman-retaliasi-ekstremisme)