Katie McQuaid: Membongkar Ketimpangan Riset Iklim Melalui Pendekatan Interseksional dan Kreatif
July 15, 2025 2025-07-15 10:44Katie McQuaid: Membongkar Ketimpangan Riset Iklim Melalui Pendekatan Interseksional dan Kreatif

Katie McQuaid: Membongkar Ketimpangan Riset Iklim Melalui Pendekatan Interseksional dan Kreatif
Jakarta, 10 Juli 2025 – Diskusi Publik Program Studi Kajian Gender sebagai rangkaian kegiattan Dies Natalis ke-9 Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, kali ini bertajuk “Intersectional Climate and Gender Research: Creative and Applied Methodologies”. Kegiatan ini menghadirkan Assoc. Prof. Katie McQuaid dari University of Leeds, Inggris, sebagai narasumber utama, dan dihadiri oleh 110 peserta dari berbagai latar belakang akademik dan aktivisme. Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian forum rutin bertema “Kreativitas dan Aktivisme dalam Riset Gender-Interseksional” yang diadakan secara virtual dan dipandu oleh Andi Misbahul Pratiwi, kandidat doktor dari University of Leeds sekaligus Peneliti Tamu di Program Studi Kajian Gender UI.
Dalam pemaparannya, Prof. McQuaid memperkenalkan proyek risetnya GENERATE: Creative Approaches to Building Inclusive and Climate-Resilient Cities in Uganda and Indonesia. Riset ini memusatkan perhatian pada irisan antara gender, seksualitas, usia, dan perubahan iklim, dengan pendekatan etnografi yang dipadukan dengan seni partisipatif untuk menciptakan aksi transformatif yang berbasis komunitas.
“Metodologi seni terapan kolaboratif adalah alat untuk riset, transformasi, pertukaran pengetahuan, dan advokasi kebijakan publik,” ujar Katie. Ia menekankan pentingnya melibatkan komunitas yang marginal dalam proses penelitian sebagai upaya mewujudkan perspektif dan agenda iklim yang berkeadilan. Proyek GENERATE, menurutnya, tidak hanya meneliti komunitas, tetapi melibatkan mereka dalam merancang dan menguji aksi iklim yang adil secara sosial dan gender.
Proyek GENERATE telah dijalankan di berbagai kota di Indonesia (Banjarmasin, Mataram, Solo, Jakarta dan Demak) dan Uganda (Gulu, Masaka, dan Kampala). Beberapa intervensi kreatif yang dihasilkan antara lain karya-karya berjudul Decolonising Gender and Climate Network, komik Urban Flooding “Halin Ai…”, Trans Superheroes Boardgame, Creatives Climate Café, See Change Photo Book, Queer Green Leadership Academy, animasi Diffabilitas, toolkit Kayuh Baimbai untuk kesiapsiagaan bencana inklusif difabel, hingga Disaster Justice: Recipes for Inclusive Resilience and Preparedness.
Dalam diskusi tersebut, Katie juga menyoroti ketimpangan dampak perubahan iklim yang lebih besar dirasakan oleh kelompok rentan—yang pada saat bersamaan memiliki akses terbatas terhadap sumber daya dan ruang pengambilan keputusan. Oleh karena itu, keadilan iklim interseksional perlu menyoroti pengalaman sehari-hari yang mewujud dalam tubuh dan ruang hidup masyarakat. “Aksi iklim harus berani melawan ketimpangan struktural yang berakar dari politik kolonialisme, kapitalisme global, patriarki, kemiskinan, dan energi fosil. Kita perlu mengangkat suara dan pengetahuan lokal yang beragam dan mewujud dalam tubuh serta pengalaman komunitas,” jelasnya.
Katie menutup paparannya dengan ajakan untuk membayangkan masa depan alternatif yang radikal, inklusif, dan berkeadilan, serta untuk terus mengganggu metodologi riset konvensional, maskulin, dan bias kultur produksi pengetahuan dari negara-negara Utara yang selama ini sering kali mereproduksi ketidaksetaraan.
Diskusi ini menjadi wadah penting bagi akademisi dan praktisi untuk saling belajar dan mengeksplorasi pendekatan kreatif dalam riset gender dan iklim, serta mengembangkan kolaborasi lintas disiplin dan lintas kawasan dalam menjawab krisis iklim global secara adil dan inklusif.