Berita & Info

General Lecture: How we are trying to cope with natural disaster in Japan?

BeritaKuliah Umum

General Lecture: How we are trying to cope with natural disaster in Japan?

Kuliah Umum Kajian Pengembangan Perkotaan mengenai kebencanaan diselenggarakan pada tanggal 5 September 2019, bertempat di Lt. 4 Ruang Kuliah Gedung SKSG dan SIL, Kampus UI Salemba ini dihadiri oleh dosen, mahasiswa, alumni Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, mahasiswa dari Yokohama National University, mahasiswa dari fakultas lain di Universitas Indonesia, serta peserta umum lainnya. Sejumlah 40 peserta memadati ruang kelas untuk mengetahui bagaimana cara Jepang mengembalikan kondisi setelah gempa bumi dan tsunami menggoncangnya di 2011?

Moderator acara, Dr. Renny Nurhasana, Dosen Kajian Pengembangan Perkotaan membuka kuliah dengan menjelaskan perkenalan dasar bencana alam di dunia, kejadian bencana di lingkup global yang dilanjuti dengan kesamaan bencana antara Indonesia dan Jepang. Dari pengalaman bencana yang dialami, berbagai macam bencana seperti gempa bumi, aktivitas vulkanik, erosi, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, semua dialami Indonesia dan Jepang. Jepang mengalami banyak bencana tetapi jumlah kematian dapat dicegah, berbeda dengan negara-negara serupa di tingkat global. Ada 127 gunung api aktif di Indonesia dan 51 gunung aktif di Jepang. Kesamaan gempa bumi terjadi antara dua negara karena Indonesia dan Jepang berada dalam 3 patahan yang rentan gempa.

Prof. Mihoko Matsuyuki dosen dan peneliti di Yokohama National University memiliki keahlian pada perencanaan perkotaan dan regional, perumahan, manajemen pemulihan bencana, dan studi pembangunan. Ketertarikannya seputar isu pembangunan infrastruktur dan penggunaan tanah beserta perilaku masyarakatnya, isu perumahan untuk masyarakat lapisan bawah, isu kota yang akan tenggelam membuat Prof. Mihoko melakukan penelitiannya di berbagai belahan dunia seperti di Thailand, Indonesia, Vietnam, India, Bangladesh, Philippines, China, UK, The Netherland, USA, Colombia dan juga pastinya di Jepang.

Inti presentasi pada kuliah umum ini adalah Jepang mengalami 3 bencana gempa bumi besar selama 3 dekade yang salah satunya adalah Gempa bumi Kanto (1923) dengan sebanyak 100.000 jiwa meninggal dunia dan 3.465 hektar (45% dari Tokyo) rusak karena kebakaran. Cara mengembalikan kondisi dari efek gempa bumi adalah dengan membuat kota tahan bencana dengan dua acara. Pertama, yaitu dengan membuat struktur bangunan di perkotaan yang tahan bencana (tahan api, jalan yang lebar, adanya tempat pengungsian, dan tersedianya ruang terbuka umum). Hal ini dilakukan melalui proyek “Disaster Prevention Block Improvement/Perbaikan Area Pencegahan Bencana” dimana daerah-daerah yang terdampak oleh bencana akan diatur kembali menjadi bangunan dan ruang yang tahan bencana. Proyek ini disubsidi oleh pemerintah pusat dan daerah.

Sebagai contoh di daerah Taishido, daerah ini semula mempunyai ruang yang sempit dalam jalan umum, tetapi melalui “Incremental Improvement Approach Project/Proyek Perbaikan dengan Pendekatan Bertahap”, lebar jalan umum antar rumah diperluas dan diberi penghijauan tumbuhan sehingga memudahkan dalam evakuasi saat bencana datang dan juga memberikan pemandangan yang lebih baik. Proyek ini dilakukan pada waktu 1983-2005 menggunakan dana pemerintah pusat menghasilkan total jalan umum yang diperlebar sepanjang 400 meter, renovasi 16 apartemen milik umum, renovasi 137 rumah tinggal, dan 5 pabrik kecil, pembuatan 5 ruang publik terbuka, 13 tangki penampungan hujan, 5 tempat parkir umum, dan 2 fasilitas berkumpulnya masyarakat. Hasil evaluasi menunjukkan tempat umum yang dibangun dan diperluas memberikan manfaat besar untuk masyarakat dan generasi muda tertarik untuk memilih bahan bangunan yang tahan api. Di daerah Kyojima juga dilakukan proyek ini, salah satunya dengan pembuatan apartemen baru untuk umum.

Kedua, cara mengembalikan kota dari efek bencana adalah dengan membangun ulang total sebuah kota. Dalam hal pembangunan ulang perkotaan (Urban Re-Development Project), hunian horizontal digantikan dengan hunian vertikal (apartemen) tetapi dengan kepemilikan yang diberikan untuk pemberi lahan. Dengan penataan ulang dan pembangunan yang menyesuaikan dengan tata guna lahan dalam menghadapi bencana, perspektif membangun secara vertikal lebih dipilih dan dibangun berbasis kesiapsiagaan bencana.

Pada tanggal 11 Maret 2011 terjadi Tsunami dan gempa bumi dengan jumlah meninggal dunia 18.498 jiwa, hilang 2.609 jiwa, 127.390 rumah rusak parah, 273.048 rumah rusak ringan, 332.691 jiwa mengungsi. Isu setelah ini adalah dimanakah penduduk akan kembali tinggal, apakah tetap dekat laut atau dipindahkan ke tempat yang tinggi? Bencana ini dapat terjadi sekali dalam 100 tahun atau sekali dalam 1.000 tahun. Oleh karena itu pemikiran untuk relokasi ke tempat yang lebih tinggi sangat dibutuhkan. Hal ini terjadi di Kota Rikuzen-Takata dengan populasi sebelum bencana 24.000 jiwa, meninggal dunia 1.656 jiwa, hilang 72 jiwa, jumlah rumah rusak 3.341 dari total 8.200 rumah. Jumlah lansia di tempat tersebut (>65 tahun) adalah 36,8% (2015) sehingga membutuhkan perhatian. Penduduk direlokasi ke tanah yang tinggi dan kemiringan tanahnya aman dari bencana. Penduduk juga diberikan apartemen publik yang ramah terhadap bencana.

Kuliah umum ini bisa dicontoh oleh pemerintah di Indonesia dalam menanggapi adanya bencana. Kesamaan kondisi alam menyebabkan bencana yang harus diwaspadai juga. Kondisi pemulihan di Jepang tidak sepenuhnya baik karena pemulihan kondisi memerlukan waktu yang sangat lama, bisa sampai 10 tahun karena menunggu persetujuan dan birokrasi. Belum lagi banyak petugas pemerintahan yang ikut meninggal dunia sehingga pembangunan daerah tidak dapat dilakukan cepat. Pemulihan di Banda Aceh relatif lebih cepat. Namun memang kualitas bangunan tidak seperti di Jepang. Tidak bisa dipastikan mana yang lebih baik, kualitas pemulihan yang sempurna tetapi waktu yang dibutuhkan lama, atau kualitas seadanya tetapi dilakukan segera. Pastinya, pemulihan membutuhkan dana dan kekuatan ekonomi. Pemulihan membutuhkan sinergitas berbagai sektor di sebuah negara.

Strategi pemulihan dapat dilakukan dengan membuat susunan rumah yang vertikal, pembelian lahan penduduk lalu diatur berdasarkan tata guna lahan yang berorientasi lingkungan. Strategi dilakukan dengan musyawarah penduduk setempat. Penduduk harus dipastikan apakah kembali lagi ke daerah asal, keluar ke kota baru, lalu bagaimana dengan lahan yang dimilikinya, sehingga tidak menimbulkan konflik dalam penataan lahan.

(red: Renny Nurhasana)

Dokumentasi Kegiatan (Google Drive)