Reaktualisasi Historis Al Quds – Reportasi Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
February 13, 2018 2024-12-20 10:40Reaktualisasi Historis Al Quds – Reportasi Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
Reaktualisasi Historis Al Quds – Reportasi Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
Seminar Internasional tentang Al Quds sebagai tanah yang diberkahi berlangsung pada 28-31 Januari 2018 di Istanbul, Turki. Acara dihadiri oleh Bekir Bozdag Deputi Perdana Menteri sekaligus Juru Bicara Pemerintah, Prof. Dr. Ali Erbas Kepala Kementerian Agama Turki, dan lebih dari 20 negara perwakilan akademisi, tokoh agama Islam seperti Indonesia, Irak, Palestina, Pakistan, Malaysia, India, Uzbekistan, Mesir, Mauritania, Maroko, Inggris dan lain-lain.
Pada kesempatan acara seminar ini, saya berbicara tentang kehidupan beragama di Yerusalem, Al Quds. Saya menuturkan bahwa agama Islam telah meletakkan dasar kehidupan toleran antar umat beragama di Yerusalem. Langkah pertama dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab RA, saat penyerahan kunci kota Yerusalem di Gereja al-Qiyamah, oleh Rahib di Yerusalem. Namanya patiarkh Sophronius, pemegang mandat pemelihara tempat suci umat Kristiani.
Saat itu, Khalifah Umar menyatakan ingin sholat. Sang Rahib menawarkan khalifah sholat di dalam gereja. Namun Umar menolaknya dan memilih sholat di tangga bagian luar gereja. Ketika ditanya oleh Rahib Gereja mengapa tidak sholat di dalam gereja, Khalifah Umar pun berkata, “saya khawatir kalau sholat di dalam gereja, umat Islam kelak akan meruntuhkan gereja ini atau mengubahnya menjadi masjid karena Umar pernah sholat di dalamnya”.
Khalifah Umar bin Khattab tidak ingin gereja itu dihancurkan atau diubah menjadi masjid atau musholla oleh umat Islam. Beliau menghormati agama lain (Kristen) apa adanya. Karena pada dasarnya, agama Islam bukanlah agama yang memaksa penganut agama lain menjadi pemeluknya. Jadi, umat Islam telah memberikan teladan kepada penganut agama lain di Yerusalem.
Selanjutnya saya menyampaikan peristiwa kedua, terjadi saat Perang Salib 492 Hijriah/1099 Masehi, korbannya orang orang Yahudi. Saat itu, Yerusalem dikepung selama 42 hari oleh Pasukan Salib. Setelah pertahanan Yerusalem runtuh, Pasukan Salib melakukan pembantaian selama satu minggu penuh terhadap umat Islam dan Yahudi yang mempertahankan Yerusalem dan desa mereka. Tercatat lebih dari 70.000 umat Islam, termasuk Yahudi, dibantai oleh Pasukan Salib. Itulah kekejaman Pasukan Salib. Bahkan Orang orang Yahudi dibakar hidup hidup di desanya oleh pasukan Salib.
Peristiwa ketiga ialah saat Sultan Sholahuddin al Ayyubi, sebagai Panglima Islam, berhasil merebut kembali Yerusalem dari kekuasaan pasukan salib pada 583 hijriah, hampir 90 atau seratus tahun sesudah pasukan salib kekuaasaan Yerusalem. Namun, Sholahuddin tidaklah membantai pasukan salib dan umat Kristen. Malah mereka diberi hak untuk keluar dari Yerusalem dengan membayar jaminan. Hal ini melakukan bahwa Islam bukanlah agama yang membalas dendam, apalagi melakukan tindakan melanggar norma dan etika.
Kemudian, diakhir presentaasi saya di seminar internasional tersebut adalah Yerusalem di masa Usmaniyyah, sebagai Negara besar yang menguasai tiga benua di Asia, Afrika, dan sebagian Eropa. Ketika Kekhalifahan Spanyol (Andalusia) diruntuhkan, dikalahkan oleh tentara Nasrani, banyak ummat Islam yang dibunuh. Orang Yahudi melarikan diri dan ditampung untuk bisa hidup di wilayah Usmani. Akhirnya mereka berduyun-duyun pindah ke wilayah Usmani. Dinasti Utsmani pun menciptakan sistem kerukunan antar umat beragama. Hal ini menunjukkan bahwa Islam dari bernagai periode yang ada, agama Islam menunjukkan penghormatannya kepada agama lain. Meskipun dalam perang, ada aturan-aturannya yang harus dipatuhi, tidak kemudian di luar batas kemanusiaan.
Agama Islam menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan penghormatan terhadap agama lain, inilah pokok masalah yang saya sampaikan, para peserta pun menyambut baik gagasan tersebut. Secara umum, seminar ini merekomendasikan bahwa Yerusalem tetap menjadi ibukota Palestina dan ramah terhadap agama apapun.