Rumah Perdamaian Universitas Indonesia selenggarakan Dialog Perdamaian, “Damai Papua untuk Keutuhan NKRI”
September 17, 2019 2024-12-20 10:40Rumah Perdamaian Universitas Indonesia selenggarakan Dialog Perdamaian, “Damai Papua untuk Keutuhan NKRI”
Rumah Perdamaian Universitas Indonesia selenggarakan Dialog Perdamaian, “Damai Papua untuk Keutuhan NKRI”
Selasa, (17/2019) Rumah Perdamaian, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia mengadakan dialog perdamaian bertajuk “Damai Papua untuk Keutuhan NKRI”. Acara ini berlangsung di gedung IASTH lantai 3 Universitas Indonesia Kampus Salemba.
Acara yang berlangsung selama lebih dari tiga jam dihadiri oleh 113 akademisi dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan perwakilan mahasiswa dari Papua di Jabodetabek.
Dialog ini bertujuan memberi masukan kepada pemangku jabatan, karena tidak mungkin menyelesaikan masalah Papua hanya dengan satu atau dua kali dialog.
Acara diawali dengan menyanyikan Indonesia Raya. Kemudian dilanjutkan oleh sambutan dari ketua Rumah Perdamaian, M Sya’roni Rofii, Ph.D. Dalam sambutannya menyatakan bahwa diskusi kali ini adalah wahana saling bertukar pikiran dan gagasan. Dr. Muhammad Luthfi, Direktur SKSG UI dalam pembukaan acara dialog mengutarakan bahwa Rumah Perdamaian adalah wadah kecil yang diinisiasi oleh SKSG UI untuk mencoba mengelaborasi ide damai agar dapat disebar kepada seluruh masyarakat.
Dialog dimoderatori oleh Dr. Puspitasari, Dosen dari Kajian Ketahanan Nasional, SKSG UI. Para pembicara yang hadir adalah; Lenis Kogoya, Staf Khusus Presiden untuk Papua, Dr. Margaretha Hanita, Dosen Kajian Ketahanan Nasional, SKSG UI, dan terakhir Methodius Kossay, Tokoh Muda Papua.
Lenis Kogoya bercerita mengenai permasalahan terkini berkenaan dengan Orang Papua, maupun permasalahan di Wilayah Papua. Lenis menjelaskan tentang otonomi khusus Papua dan juga turunan permasalahannya, terutama kesejahteraan. beliau juga menceritakan tentang konsep 3 tungku, filosofi hidup masyarakat Papua.
Pemaparan kedua dari ibu Hanita, beliau mengawali dengan kisah penulisan tesis dan disertasi tentang Papua. Beliau bercerita pernah mewawancari nyaris semua pemimpin OPM. Menurutnya, toleransi di Papua diselenggarakan melalui semboyan satu tungku tiga batu. Berkaitan dengan masalah hukum, masyarakat Papua lebih tunduk depada hukum adat daripada hukum positif. Sehingga, ada beberapa hal yang menurut hukum adat Papua adalah sah, tidak demikian menurut hukum positif. Hal inilah yang menurutnya harus kita hormati dan hargai. Di samping itu, Dr Margaretha juga menyinggung otonomi khusus yang diberikan kepada Papua, menurutnya otsus adalah strategi yang digunakan oleh Pemerintah untuk menjalankan politik integrasi dengan Papua.
Pembicara ketiga hadir dari tokoh muda Papua, Methodius Kossay. Beliau bebicara tentang mencari akar masalah. “obati dulu luka, baru bicara menyangkut bantuan”. Kossay menuturkan teman-teman Papua lain, yang menjadi “artis” dadakan. Selain itu, Kossay menawarkan ide pemecahan masalah Papua melalui dialog. Pertama, dialog internal, antar tujuh wilayah adat. Dialog antar Warga Papua antar Orang Asli Papua (OAP) dan Orang Papua. Selanjutnya, dialog antar wakil-wakil Papua dalam dan luar negeri. Terakhir, Dialog antar pemerintah dan warga papua. Dialog perlu dilandasi dengan prinsip cinta kasih. Kalau tidak, selalu ada luka batin.
(red: Imam Khomaeni; pict: PW)