Pemilu dan Biaya Politik
April 20, 2018 2024-12-20 10:40Pemilu dan Biaya Politik
Jakarta, 20 April 2018. Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia menggelar kegiatan Square Table Discussion dengan tema Pemilu dan Biaya politik, kegiatan ini terlaksana berkat kerjasama SKSG dan Forum Mahasiswa (FORMA) SKSG UI, bertempat di Aula SKSG Lt.4 Salemba Jakarta menghadirkan para tokoh dalam kesempatan diskusi yang direncanakan akan digelar setiap bulan. Hadir sebagai narasumber dalam Square Table Discussion edisi bulan april 2018 yakni Jaziul Fawaid (PKB), Ferry Juliantono (Gerindra), Willy Aditya (Nasdem), Pipin Sopian (PKS), Almas Sjafrina (ICW), dan Puspitasari (SKSG-UI). Rencanaya akan dilaksanakan pukul 13.30 sampai 16.00.
Perjalanan Demokrasi Indonesia tahun ini genap berusia 20 tahun, usia yang masih relatif muda dibandingkan dengan beberapa negara maju, seperti Amerika. Seiring waktu berjalan, demokrasi Indonesia perlu diacungi jempol karena pada era reformasi berhasil menggelar 4 kali pemilu legislatif, 3 kali pemilihan presiden secara langsung, dan bahkan telah menggelar ratusan kali pemilukada.
Lompatan demokrasi yang sangat luar biasa akan terjadi di tahun 2019, Indonesia akan menggelar pemilihan legislatif dan pemilihan presiden secara serentak. Pemanasan politik, akan dimulai dengan pilkada serentak 171 daerah tahun 2018 ini.
Dari sisi pembiayaan penyelenggaraan, APBN untuk pilkada 2018 dan persiapan pemilu serentak 2019, pemerintah menyiapkan 26 Triliun. Belum lagi biaya politik yang harus disiapkan kontestan pemilu, mulai dari Cagub, Cabup, Cawakot di Pilkada dan Capres, Caleg DPRD, DPR, DPD di Pemilu serentak 2019.
Selain APBN, peserta pemilu juga harus mengeluarkan biaya politik, seperti biaya saksi di Jawa Barat dengan jumlah 75.000 TPS. Belum lagi biaya konsolidasi, kampanye, atribut kampanye, operasional tim sukses, biaya survei dan komponen pembiayaan lainnya.
Aturan tentang partai politik dan sumbangan dari APBN juga melonjak signifikan, dari awalnya 120 rupiah per suara, sekarang menjadi 1000 rupiah per suara, menurut KPK hal ini untuk mengurangi praktik korupsi oleh para politisi pada partai politik. Ada juga aturan tentang sumbangan dari lembaga atau pribadi kepada calon yang sedang berlaga pada gelaran pemilu, aturan tersebut bertujuan membatasi biaya politik.
Besaran biaya pemilu, baik pilkada maupun pemilu, tentu memunculkan kekhawatiran politik uang, terutama darimanakah biaya politik peserta pemilu. Kita menyambut positif apabila biaya politik tersebut dari usaha partai atau individu kontestan berasal dari usaha yang legal. Kita tentu prihatin apabila biaya politik tersebut berasal dari konsesi politik, misal, kontrak izin pembukaan lahan hutan, pertambangan, yang melanggar aturan hukum. Belum lagi politik uang saat hari pencoblosan, yang tentunya bukan hanya menurunkan kualitas demokrasi melainkan juga munculnya potensi korupsi.
Pemilu sejatinya adalah kontrak sosial antara masyarakat dan partai politik, kita semua menginginkan kontrak sosial yang berkualitas bagi demokrasi di Indonesia, yang tentunya berujung pada kesejahteraan rakyat. (Red. Luthfi)