Berita & Info

Diskusi Nasib WNI simpatisan ISIS di Suriah dan Irak

Uncategorized @id

Diskusi Nasib WNI simpatisan ISIS di Suriah dan Irak

Kabar dan klaim dikalahkannya Islamic State (IS) di Suriah dan Irak awal tahun ini menandai dimulainya babak baru dinamika terorisme regional bahkan global dengan segala turunan dampaknya. Untuk membahas lebih dalam tentang isu tersebut Program Studi Kajian Terorisme Universitas Indonesia pada Rabu (10/6/19) menyelenggarakan diskusi terbuka yang mengambil judul “Nasib WNI Simpatisan ISIS di Suriah dan Irak”. Diskusi tersebut menghadirkan AKBP Dr. Didik Novi, S.I.K., M.H. dari unsur Kepolisian Republik Indonesia, jurnalis Tempo yang meliput nasib WNI di Suriah dan Irak Husein Abri Dongoran, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Judha Nugraha, dan dosen program kajian terorisme Ali Abdullah Wibisono, Ph.D. sebagai narasumber dengan varian lintas disiplin dan latar belakang.

Narasumber dengan lintas disiplin ilmu dan latar belakang diharapkan dapat memberikan sudut pandang unik dalam tema diskusi tersebut. Selain varian narasumber, peserta yang hadir memenuhi aula pertemuan gedung IASTH UI Salemba juga datang dari latar belakang berbeda seperti civitas akademika UI, mahasiswa berbagai universitas, masyarakat umum, dan peneliti dari berbagai lembaga. Diskusi tersebut dibuka oleh Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Dr. Muhammad Luthfi dengan pengantar signifikansi konflik Timur Tengah dan dampak terorisme secara regional dan global. Setelah itu diskusi dipandu oleh Ketua Program Studi Kajian Terorisme Muhamad Syauqillah, Ph.D.

Diskusi dimulai dengan paparan video liputan Husein Abri di kamp pengungsian dengan beberapa warga negara Indonesia. Dalam liputan dan hasil wawancara tersebut Abri menangkap keinginan warga negara Indonesia di kamp pengungsian yang mayoritas merupakan perempuan dan anak-anak untuk dapat kembali ke Indonesia, beberapa di antaranya bahkan masih memiliki paspor Indonesia. Kenyataan kehidupan yang sulit dan penuh keterbatasan membuat banyak warga negara Indonesia yang berangkat dengan berbagai harapan yang jauh dari kenyataan justru ingin kembali ke Indonesia. Fakta ini kemudian memperluas ruang lingkup diskusi, khususnya dengan kenyataan bahwa masalah warga negara Indonesia di kawasan konflik Suriah dan Irak bahkan negara lain di kawasan tidaklah tunggal. Membahas keberadaan dan nasib warga negara Indonesia tidak hanya menyoal foreign terrorist fighters namun juga perempuan dan anak-anak.

Selanjutnya Dr. Didik mendalami perjalanan sejarah kemunculan foreign terrorist fighters (FTF). Ia menyampaikan bahwa gelombang pertama FTF dari Indonesia ialah kelompok yang berangkat ke Afganistan dan Filipina baik untuk pelatihan maupun turut menjadi kombatan di teater konflik Afganistan. Kemudian disusul dengan kemunculan FTF terkini yang berlatar belakang seruan bergabung dengan Islamic State (IS) di Suriah atau Irak. Kedua teater konflik tersebut mendatangkan kelompok dengan tujuan dan latar belakang berbeda, dalam konflik Afganistan kelompok FTF didorong oleh keinginan jihad dan juga berniat kembali dan menjalankan teror di tanah air, sedangkan kelompok FTF yang bergabung dengan IS secara umum dilatarbelakangi oleh seruan ummah dan hijrah untuk menetap di wilayah IS yang diklaim sebagai wilayah yang menjalankan syariat dan perintah agama. Namun demikian kekalahan IS dan hilangnya kekuasaan atas wilayahnya menyebabkan muncul seruan jihad di wilayah jauh tanah air masing-masing bagi para simpatisan dan FTF. Pada akhirnya fenomena FTF dan returnees menyisakan berbagai potensi ancaman.

Diskusi juga dilengkapi dengan paparan Judha Nugraha selaku Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI. Ia menyampaikan bahwa Indonesia menganut sistem perlindungan maksimal bagi warga negaranya di luar negeri, oleh sebab itu kehilangan dan pencabutan kewarganegaraan adalah suatu hal yang sulit dilakukan. Persoalan pencabutan kewarganegaraan selain dapat ditinjau dalam Undang-undang N0. 12 tahun 2006 juga mesti meninjau turunannya berupa Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2007. Selain itu ia juga membandingkan sikap berbagai negara dunia tentang deportan dan returnees yang diduga bergabung dalam organisasi teror paling tidak dalam tiga model yaitu menolak secara keseluruhan dan mencabut kewarganegaraan, menerima sebagian misalnya hanya wanita dan anak-anak, atau menerima secara keseluruhan. Tentunya ketiga model tersebut membawa dampak yang berbeda-beda. Paparan tersebut ditambahkan oleh Ali Wibisono, Ph.D yang juga dosen Kajian Terorisme UI tentang data rasio ancaman keamanan yang disebabkan pulangnya para returnees dari kelompok teror, ia memaparkan bahwa jumlahnya secara rasio terbilang sangat kecil ketimbang teror yang dilakukan orang yang tidak pernah berangkat bergabun dengan kelompok teror di luar negeri, namun dampak kerusakan yang ditimbulkan berpotensi jauh lebih besar.

Terakhir, dalam diskusi ini disimpulkan berbagai tantangan yang akan dihadapi pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam menyikapi fenomena deportan dan returneees ini. Di antaranya ialah pembagian kewenangan dan leading sector dalam proses pemulangan para returnees dan deportan yang membutuhkan koordinasi dan konektivitas antara lembaga terkait, juga urgensi diadakannya penilaian secara komprehensif dan mendalam pada setiap warga negara Indonesia yang kembali dari kawasan tersebut untuk mengukur tingkat terpapar radikalisme setiap individu. Dengan demikian diharapkan pemerintah dapat mendapat ukuran pasti akan potensi ancaman yang akan disebabkan oleh para returnees dan deportan sembari tetap menjalankan fungsi pemerintah untuk melindungi warga negaranya.

(red:Prakoso Permono; pict:PW)

[ngg src=”galleries” ids=”18″ display=”basic_thumbnail” override_thumbnail_settings=”1″ thumbnail_width=”160″ thumbnail_height=”120″ images_per_page=”16″ show_slideshow_link=”0″]