Pengamat: Tim Ekonomi Pemerintahan Sekarang sudah Baik
April 18, 2019 2024-12-20 10:40Pengamat: Tim Ekonomi Pemerintahan Sekarang sudah Baik
SAAT ini perihal pertumbuhan ekonomi menjadi isu panas yang dibahas dalam perdebatan calon presiden dan wakil presiden yang sedang berkontestasi. Pertumbuhan menjadi salah satu indikator yang penting sebagai cerminan keberhasilan pembangunan suatu ekonomi.
Angka pertumbuhan ekonomi ini selalu menjadi bahasan sentral dalam berbagai kesempatan diskusi baik di kalangan ekonom, swasta, dan politisi.
Berdasar analisis Wakil Direktur Sekolah Kajian Strategis dan Global (SKSG) Universitas Indonesia sekaligus Kepala Center for Strategic and Global Studies (CSGS), Athor Subroto PhD, tren penurunan GDP yang dimulai 2010 dari 6,224% terus menurun dengan cepat, tetapi berhasil ditahan tren penurunannya sehingga tidak menukik terus turun.
“Penahanan tren menurun sehingga menjadi memiliki tren yang naik tentu merupakan hal positif sehingga terus memiliki tren kenaikan yang stabil dengan pertumbuhan di angka 5%,” ujar Athor dalam keterangannya, Senin (15/4).
Ia menambahkan, tren penurunan pertumbuhan yang drastis itu di mana semakin membesar dari 2011 (-0,87%) hingga 2014 menurun sebesar hampir -10%, berhasil dilambatkan pada level -2, 62% pada 2015 dan tampak kembali pada tren yang positif setelahnya dengan rata-rata kenaikan hampir 2%.
Pada sisi lain, indikator Gini Index yang terus membaik dari 2015 hingga sekarang yang sebelumnya stagnan di angka 39 menjadi 38,1 pada 2017 (sumber World Bank).
“Walaupun angka ini tentu masih bisa diperbaiki, namun tren ini bisa dikatakan cukup baik.
Pada periode yang sama dari 2010, angka indeks Gini Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup ekstrem yakni dari 2010 ke 2011 kesenjangan antara si kaya dan si miskin membesar 9,07%,” imbuhnya.
Selama periode 2010 hingga 2013, lanjut Athor, rata-rata pelebaran kesenjangan ialah 3,32%. Sedangkan dalam periode 2014 hingga 2017 malah sebaliknya di mana kesenjangan per tahun rata-rata mengecil 1,14%.
“Dua capaian yang dibahas tersebut memang tidak bisa dipungkiri, namun demikian perlu daya dan upaya lebih keras untuk mendorong pertumbuhan lebih tinggi lagi dengan diversifikasi pusat pertumbuhan baik secara spasial maupun sektoral.
“Penyebaran pertumbuhan sangat diperlukan dalam hal ini untuk menopang pertumbuhan yang lebih tinggi. Diversifikasi sumber pertumbuhan harus diupayakan, di mana saat ini pertumbuhan Indonesia masih didominasi oleh sektor konsumsi, lebih spesifik lagi dari konsumsi rumah tangga hampir 60%.
Dominasi konsumsi sebagai sumber utama pertumbuhan, kata dia, memang tidak ada salahnya. Namun, dalam jangka panjang, sumber pertumbuhan dari sektor lain perlu didorong.
Misalnya mendorong sektor produktif melalui seluruh jenis usaha primer sekunder maupun tersier dengan inovasi, kreativitas dan efisiensi logistik serta rantai pasok.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik pada Februari 2019 bahwa struktur ekonomi Indonesia secara spasial 2018 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Sumatra.
Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yakni sebesar 58,48%, diikuti oleh Pulau Sumatra sebesar 21,58% dan Kalimantan 8,20%.
Dengan demikian ruang pertumbuhan masih sangat luas pada wilayah Indonesia bagian tengah dan timur.
Dalam upaya untuk diversifikasi sumber pertumbuhan salah satunya penguatan sektor produktif tentu membutuhkan kondisi ekosistem bisnis yang efisien beberapa yang sangat secara urgen diperlukan adalah membuat jalur rantai distribusi yang efektif dan efisien.
“Untuk mencapai efisiensi ekonomi dari sisi transportasi tersebut, boleh dikatakan ‘infrastructure is a must, if necessary, at any cost’.
Beberapa langkah pemerintah yang perlu diapresiasi dalam upaya ini adalah mendorong pembangunan sarana distribusi dengan pembangunan sarana transportasi darat lintas Jawa dan Sumatra (sedang diselesaikan) dan juga sarana transportasi laut dengan tol laut hal tersebut tentu memiliki dampak yang baik dalam rangka menekan dan mengendalikan harga barang dan bahan pokok lain di seluruh negeri,” terang Athor lagi.
Sementara penyebaran ruang pertumbuhan (spasial) membutuhkan pendekatan yang terukur dan efektif dengan memilih sektor-sektor yang memiliki multiplier effect yang lebih cepat.
Sektor yang bisa diambil dalam rangka penguatan sumber daya manusia salah satunya ialah melalui sektor pendidikan khususnya pendidikan tinggi.
“Dengan memanfaatkan pendekatan semisal dengan lebih mendorong perputaran mahasiswa perguruan tinggi untuk mukim beberapa waktu yang ditentukan di daerah atau di universitas mitra antarpulau dan daerah. Skema yang bisa dijadikan contoh misalnya seperti skema Erasmus Mundus Mobility Program di Eropa,” katanya.
Sehingga diharapkan mobilitas mahasiswa ini akan dari sisi kualitas pendidikan tinggi: mempercepat penyetaraan kualitas pendidikan tinggi pusat dan daerah. Sedangkan dari sisi ekonomi mempercepat pertumbuhan permintaan sehingga memberikan insentif bagi pengusaha untuk mengambil peluang terhadap menguatnya permintaan.
Selain itu juga mempercepat penyetaraan kualitas pendidikan tinggi. Adapun dari sisi kebangsaan, meningkatnya kesadaran dan mempererat kebhinekaan di antara pemuda dengan mengenal budaya dan kearifan lokal yang mendalam dan lebih baik lagi.
“Melalui pelaksanaan skema mobilitas mahasiswa itu diharapkan standar hidup, fasilitas, dan secara umum ‘permintaan’ di daerah akan meningkat yang pada akhirnya juga akan meningkatkan kualitas ekosistem usaha yang menguntungkan produsen dan konsumen.
Oleh karena itu, upaya mendorong peningkatan kualitas pendidikan nasional yang saat ini sedang giat-giatnya untuk terus didorong dan dipermudah dalam menghasilkan dan menerapkan penelitian yang berkualitas dan frontier sebagai penguatan dari sisi proses.
Sedangkan dari sisi input, memang perlu usaha untuk membuka akses pendidikan terutama pendidikan tinggi dan vokasi seluas-luasnya.
“Pemberian sarana bagaimana mahasiswa untuk tetap bisa mengakses pendidikan tinggi sebagai sarana untuk ‘vertical mobility’ atau mengubah nasib untuk hidup lebih mapan sangat diperlukan.
Sedangkan dari luar (output) memang mendesak untuk adanya program persiapan memasuki dunia kerja yang baik dan bermartabat, sehingga bagi pemuda yang belum memiliki pekerjaan memasuki dunia kerja yang baik bisa mengikuti program ini sehingga meningkatkan kompetisi kompetensi yang sesuai dengan pekerjaan yang diharapkan.
Menurut Athor, Indonesia sebenarnya tidak sendirian dalam implementasi program seperti ini. Di Uni Eropa mulai April 2013 program tersebut sebagai youth quarantee yang masing-masing negara anggotanya mengimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda.
Di Finlandia misalnya, menggunakan Sanssi-card yang ditawarkan pada seluruh bisnis swasta yang bisa melakukan klaim dukungan pada negara sebesar 650 Euro per orang per bulan selama satu tahun bila mereka mempekerjakan pemuda yang belum bekerja/berpengalaman.
Di Swedia dengan Youth Job Programe (UGA) mulai 2007, begitu pula di Italia dengan Garanzia Giovanni mulai 2013.
“Jadi memang skema garansi terhadap pemuda ini wajib dilakukan di Indonesia.
“Selain melalui sektor pendidikan tinggi, sektor lain yang juga sangat menjanjikan untuk dijadikan andalan dalam upaya diversifikasi sektor dan ruang pertumbuhan ekonomi adalah pertanian.
Terlebih sebagaimana diketahui bahwa selama ini gonjang-ganjing harga bahan pangan pokok dari beras, bawang cabe, dan sebagainya hingga daging sapi terus menjadi sorotan publik, walaupun sekarang tampak lebih terkendali,” ujarnya.
Gonjang-ganjing harga tersebut tentu disebabkan terutama oleh ketersediaan (supply) yang tidak stabil dan dikombinasikan dengan permintaan (demand) yang meningkat drastis pada musim tertentu khususnya hari besar keagamaan.
Oleh karena itu, perlu pendekatan yang tidak konvensional dalam hal ini misalnya dengan pengalihan subsidi yang selama ini ada, langsung ke petani atau buruh tani.
Pemberian subsidi langsung kepada mereka tentu juga memiliki tujuan untuk membuat profesi petani menjadi lebih menarik bagi kaum muda karena paling tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah yang lebih besar, ada kehadiran negara dan lebih dihargai.
Hal itu sekaligus menjadi obat dalam rangka menaikkan keterlibatan kaum muda untuk menggeluti pertanian dengan cara-cara yang modern dalam sentra-sentra produksi bahan pangan penerapan konsep Modern Agriculture dari Motes (2010).
Demikian, pada akhirnya merencanakan kebijakan-kebijakan yang hanya bersifat populisme semata tentu tidak akan mudah dioperasionalkan pada kenyataannya melainkan hanya akan menimbulkan halusinasi publik.
Apalagi dengan dukungan dari tim ekonomi yang lemah dan tidak dipercaya oleh kalangan dunia usaha tentu akan sangat kontraproduktif bagi ekonomi nasional.
“Tim ekonomi yang ada di pemerintahan sekarang sudah baik,” tutup Athor. (RO/OL-1)
artikel sudah dimuat di Media Indonesia (http://mediaindonesia.com/read/detail/229865-pengamat-tim-ekonomi-pemerintahan-sekarang-sudah-baik.html)