Berita & Info

Webinar Diseminasi Hasil Penelitian PKJS-UI

BeritaNewsPengabdian MasyarakatSeminar

Webinar Diseminasi Hasil Penelitian PKJS-UI

“Tingkat Prevalensi Peningkatan Merokok pada Kategori Anak di Indonesia: Efek Harga dan Efek Teman Sebaya”

Jakarta, 27 Agustus 2020 – Hari ini, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meluncurkan penelitian mengenai Efek Harga Rokok dan Efek Teman Sebaya terhadap Tingkat Prevalensi Merokok pada Anak di Indonesia.  Berdasarkan hasil analisis, prevalensi merokok pada anak dan remaja di Indonesia (7-18 tahun) berdasarkan Susenas 2015 adalah sebesar 2,7%. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi tertinggi berada pada usia 16-18 tahun, namun tidak sedikit dari anak usia 7–12 tahun juga telah merokok. Berdasarkan estimasi peneliti dengan data Susenas, total perokok anak dan remaja di Indonesia mencapai 1,5 juta jiwa. Prevalensi merokok anak dari IFLS relatif lebih tinggi karena perbedaan cakupan dan definisi sampel IFLS. Selain itu, studi PKJS-UI juga menunjukkan:

  • Secara umum kedua faktor, peer effect maupun price effect secara statistik berpengaruh terhadap peluang seorang anak merokok. Estimasi poin dari pengaruh positif sebaya merokok terhadap peluang seorang anak menjadi perokok berada pada rentang 0.1–49% dari tiap 1% proporsi teman sebaya yang merokok.
  • Price effect (Harga Rokok) berhubungan negatif dengan peluang anak merokok. Semakin mahal harga rokok maka semakin turun prevalensi anak merokok. Price Effect (Harga Rokok) berpengaruh besar terhadap perilaku merokok anak usia remaja (SMA) dibandingkan usia SMP & SD.
  • Peer effect berhubungan secara positif meningkatkan peluang seorang anak menjadi perokok terutama untuk kalangan: anak usia SMA (berdasarkan antar kelompok usia peer effect), tinggal di desa dan luar Jawa.

Athor Subroto, Ph.D, Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia dalam sabutannya menyampaikan bahwa Sekolah Kajian Stratejik dan Global sangat mendukung diseminasi hasil-hasil riset yang ada di Pusat-pusat Riset/Kajian di bawah SKSG. Dalam hal ini, diseminasi yang sangat urgent terkait dengan anak dan prevalensi peningkatan konsumsi rokok oleh mereka. Hal ini kita jadikan kewaspadaan yang tinggi karena merokok berefek pada banyak hal, mungkin terkait dengan perkembangan otak dan lain sebagainya. Dengan adanya webinar ini, harapannya kita dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dan bisa mengambil kebijakan yang sebijak mungkin agar anak-anak Indonesia ke depan menjadi betul-betul merupakan generasi emas yang akan menopang perkembangan bangsa Indonesia.

Prof. Dr. Muhajir Effendy, M.A.P, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK) yang turut hadir dalam acara ini menjelaskan bahwa Kemenko PMK sangat berkepentingan terhadap upaya untuk menekan, mengurangi bahkan menghapuskan kebiasaan penggunaan rokok di kalangan masyarakat. Prof. Muhajir menambahkan bahwa salah satu jebakan yang hampir terjadi di seluruh bagian siklus pembangunan manusia di Indonesia adalah rokok. “Dikhawatirkan rokok sudah mulai menyerang upaya kita untuk membangun sumber daya manusia Indonesia sejak prenatal (dalam kandungan). Salah satu penyebab stunting adalah rokok. Rokok memicu berbagai macam penyakit keluarga termasuk penyakit ekonomi. Maka distribusi dana PKH yang diberikan lewat ibu-ibu agar tidak dibelikan rokok, karena rokok sangat mencandu. Ini akan sangat berbahaya bagi masa depan,” ujarnya. Apa yang didapat oleh negara atau pemerintah melalui cukai rokok tidak sebanding dengan ongkos yang harus dikeluarkan oleh pemerintah terhadap risiko-risiko, terutama risiko kesehatan akibat rokok. “Harus kita tekankan dengan baik terutama bagaimana kita bisa menyelamatkan remaja-remaja kita, anak-anak kita jangan sampai menjadi perokok dini. Semakin dini mereka kecanduan rokok, maka tingkat kerusakan kesehatan maupun mentalnya akan semakin parah ketika dia memasuki usia produktif. Prinsipnya kita harus memiliki komitmen yang kuat baik kalangan masyarakat sipil, termasuk didalamnya kelompok peneliti, kelompok peduli terhadap bahaya rokok maupun pemerintah untuk sama-sama menjadikan agenda strategis, agenda yang penting dalam upaya kita untuk menekan, menahan, laju perokok atau pecandu rokok di Indonesia,” tambahnya.

Ketua PKJS-UI, Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D  menambahkan bahwa jika harga rokok tetap murah, prevalensi perokok muda akan terus meningkat, dan menyebabkan kesehatan yang signifikan serta beban ekonomi. “Untuk itu, pemerintah harus segera mengambil langkah dengan menaikkan cukai secara seragam minimal 25% untuk tahun 2021 demi mengurangi prevalensi perokok muda dan dewasa yang mengkhawatirkan di Indonesia”, ujarnya. Layer cukai hasil tembakau di Indonesia saat ini masih kompleks dan banyak golongannya. Hal ini menyebabkan harga rokok bervariasi dan memungkinkan masyarakat membeli harga rokok yang lebih rendah jika harga rokok naik. “Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan cukai rokok saja belum cukup optimal menurunkan prevalensi merokok. Diperlukan simplifikasi layer cukai hasil tembakau untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam mengurangi konsumsi rokok. Selain itu simplifikasi pun dapat meningkatkan pendapatan negara”, tutup Ir. Aryana Satrya M.M., Ph.D dalam acara hari ini.

Lampiran Nama-nama Penanggap:

  • Sambutan: Athor Subroto, M.M, M.Sc, Ph.D (Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia)
  • Keynote Speech: Dr. Muhajir Effendy, M.A.P (Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia)
  • Sesi Penanggap:
  1. Riskiyana Sukandhi Putra, M.Kes (Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia)
  2. Mega Hapsari Zamroni (Koordinator Bidang Peserta Didik, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia)
  3. Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, M.S, Ph.D (Direktur Kesehatan & Gizi Masyarakat, Kementerian PPN Bappenas Republik Indonesia)
  4. Leny N. Rosalin, M.Sc (Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia)
  5. Febri Pangestu (Analis Kebijakan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia)
  6. Ai Dewi (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia).